Sunday, October 19, 2008
WISATA KULINER GALABO DI SOLO
Galabo Solo berlatar Patung Slamet Riyadi
Deretan tenda-tenda di Galabo
Wednesday, October 15, 2008
Memaksa di hari liburan Lebaranku pergi ke Solo, selain pengin ketemu temanku di sana, aku penasaran pengin nyari ‘Sate kere Yu Rebi’. Rasanya kaya apa sih? Gara2 nonton wisata kulinernya Pak Bondan nih. Kok kayanya enak bgt. Katanya, baru jualan sebentar, langsung habis. Antrenya banyak. Bukan sate kere seperti di Yogya, yang bolehlah dibilang berbahan dasar daging, tapi banyak lemak dan kulitnya. Sate kere Yu Rebi ini berbahan dasar tempe gembus, dibuat dari ampas tahu. Yah, azas manfaat, limbah pun masih bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang menghasilkan.
Jadilah hari itu, Jumat 3 October 2008, aku pergi ke Solo. Tadinya rencana mau naik Pramex, kereta Yogya-Solo PP, 1 jam nyampe. Tapi urung. Pagi2 dedeku, si Nick, tiba2 bilang pengin ikut. Akhirnya kita pergi bawa kendaraan sendiri, bertiga ma temanku. Semoga tidak macet. Dan ini lebih baik, dp pusing klo pake Pramex, max pk.18.45 dah harus siap di Sta. Purwosari, coz Pramex terakhir dari Solo tujuan Yogya, jam segitu. Keburu ga, klo Galabo aja baru buka stand pk. 5 sore.
Berangkat dari rumah pk.08.00 WIB. Ku contact temanku di Solo, kita maybe 2-3 jam lagi dah mpe Solo. Tyt jalan lumayan crowded, pk.12.00 WIB kita baru mpe rumah temanku di Solo. Whua…….. Solo panas sekali, melebihi Yogya. Panas udaranya bukan coz terik matahari. Pada ngeluh kegerahan.
Sudah jam makan siang, kita akhirnya memutuskan makan di PGS (Pusat Grosir Solo) di Beteng, baru kali ini aku ke sana. Termasuk bangunan baru, terakhir aku ke Solo th. 2003, dulu belum ada, bahkan mungkin rencana dibangun juga belum ada. Kita akhirnya makan siang di sana. Di Tenda2 yang tertata rapi di sepanjang area luar PGS. Yah, program Walikota Solo, menertibkan para PKL (Pedagang Kaki Lima). Program yang bagus. Di siang hari, para PKL boleh berjualan di tenda2 yang disediakan dengan dikenai pajak Rp.1.500,- Di sore hari mulai pk.17.00 jalan di Beteng ditutup untuk umum, area digunakan untuk Galabo (Gladag Langen Bogan), wisata kuliner. Dikenai pajak Rp.20.000,- per pedagang. Strategi yang bagus untuk lebih menghidupkan Pariwisata di Solo.
Area parkir berlatar PGS
Tadinya kita pengin beli soto kuali, tetapi tyt sudah habis, akhirnya kita memesan bakso urat. Lumayanlah buat pengganjal perut. PGS hari itu lumayan rame. Di area parkir hanya sedikit mobil ber-plat AD, kebanyakan didominasi oleh2 mobil2 pendatang dengan kode huruf yang sebagian aku tidak terlalu tahu dari daerah mana, tapi kebanyakan mobil berplat B dan banyak juga berplat AB.
‘Wah dasar plat B dan AB ini menuh2in Solo saja! Termasuk kita. He he....’
Di area parkir bawah kita sudah tidak kebagian tempat, akhirnya harus rela parkir di dalam gedung, untung ga mpe lantai paling atas gedung, 1 lantai di bawah lantai paling atas PGS. Lumayanlah, masih ada atapnya.
PGS hampir seperti ITC di Bandung, hanya di sini lebih banyak menjual batik. Sebenarnya hampir seperti Pasar Beringharjo. Tapi entah kenapa kalau belanja ke lain daerah, pasti barang2 di sana terlihat lebih menarik ya. Mungkin benar juga ya kata pepatah, ‘Rumput tetangga terlihat lebih hijau.’ Rasanya aku lebih antusias belanja di PGS dp d Beringharjo. Bisa jadi aku sudah bosan saking seringnya ke Pasar Beringharjo. Tapi memang, kuakui penataan barang di PGS jauh lebih menarik dp di Beringharjo yang terkesan crowded. Tapi orang Solo sendiri jauh lebih senang berbelanja ke Beringharjo, dan kata temanku di Bandung, Batik di Beringharho jauh lebih bervariasi. He he….. selera sih.
PGS panas sekali, tanpa AC sedangkan BTC (Beteng Trade Centre) yang letaknya berdampingan dengan PGS, di sana ada AC-nya tapi kata temanku yang sudah mencoba ke sana, koleksinya jauh lebih lengkap di PGS. Tapi kami bisa bertahan di PGS lumayan lama, yah sambil sesekali menyeka peluh. Muter2 nyari2 siapa tau ada yang nyantol pengin dibeli. Akhirnya keluar dari PGS dengan membawa tentengan belanjaan murah meriah hasil buruan kami seharian. He he…. sebenarnya ada yang masih pengin dibeli, tapi berhubung dah janji bakal irit, yah harus menahan diri. Kalau bener2 pengin mpe keimpi-impi, kan ada Dini, bisa minta tolong di kirim. Ya kan Din? He he....
Pukul 16.00 kita meninggalkan PGS. Masih ada waktu 1 jam menunggu dibukanya Galabo. Kita muter2 dulu keliling kota Solo. Lewat Kraton Solo, Alun2, Pasar Klewer dan akhirnya mampir ke SGM (Solo Grand Mall), salah satu mall baru di Solo selain Solo Square. Sebenarnya tujuan utama kita ke SGM cuma mau ambil uang di ATM coz ATM terdekat ada di sana, yah sekalian merasakan menginjakkan kaki di sana. Tapi olala…… SGM yang tiap harinya terkenal ramai oleh pengunjung, hari itu lebih ramai dari biasanya, serasa di pasar saja. Area parkir mau ga mau di area paling atas gedung, dengan jalur ke atas yang melingkar-lingkar yang terus terang membuat kita deg2an teringat kecelakaan di area parkir melingkar yang pernah diliput TV.
Pasar Klewer
Kita belanja ke Hypermart sebentar, membeli air mineral dan snack untuk cemilan di jalan. Meninggalkan SGM tepat pk.17.00 WIB segera menuju Beteng, wisata kuliner, perut sudah melilit-lilit minta diisi.
Sesampainya di Galabo, seperti sebelum2nya, banyak kita jumpai plat mobil luar kota, ya, banyak pemudik sih, jadi seperti tempat tujuan wisata beneran ni. Lumayan rame sore itu dan untung kita datang tergolong awal jadi masih kebagian tempat. Jalan di sebelah kanan bertebaran stand2 makanan ada 75 pilihan, pasti bingung milih. Sampai ujung jalan Beteng semuanya penuh dengan stand, cape kalau semua stand didatangi. Di area tengah jalan diatur gazebo2 untuk tempat makan 6-7 orang. Area jalan sebelah kiri disediakan tikar bagi mereka yang mau lesehan.
Daftar Menu di Galabo
Gazebo2 sudah banyak yg ditempati, tapi 2 gazebo paling bagus di ujung, berlatar patung Slamet Riyadi, belum ada yang pakai. Pada ga berani memakainya, coz gazebo itu khusus untuk Walikota dan pejabat yang datang ke sana. Dp dibiarkan nganggur ga ada yg nempati, akhirnya kita yang nempati. Bergantian kita hunting makanan, menjaga tenda takut diserobot orang. Dan aku tentu saja jauh2 ke sini demi merasakan sate kere, akhirnya memesan sate kere Yu Rebi. Pesan 3 porsi @Rp.7.500,- 10 tusuk, sate kere gembus dan sate tempe dele. Pake nasi/lontong nambah Rp.2.500,- + es gula asem Rp.2.500,-. Gila, saking banyaknya makanan kali ya, makan 3 tusuk aja dah neg. Rasanya manis sekali, dengan bumbu kaya bumbu pecel. Yah, yg penting rasa penasarannya sudah terobati. Biarpun sudah pada dibantuin makan, tetap aja sisa banyak, akhirnya dibungkus dibawa pulang.
Sate kere Yu Rebi
Hari itu makanan pesanan kita dimakan rame2, semua saling icip. Sate Yu rebi, gudeg ceker, Rawon Penjara, cabuk rambat, Tahu Kupat, Gempol Pleret, Selat Segar. Nama2 makanan yang asing dan beberapa di antaranya baru kali itu aku rasakan. Sayangnya hari itu tengkleng ga jualan. Setelah dari sana baru kita tau, katanya Bakso Alex, Timlo Pak Sastro, dan susu segar Shi-Jack terkenal banget di sana. Teman2ku dari Yk suka ke sana hanya untuk mencari makanan itu. He he… kan masih ada taon depan klo mau ke sana lg. Yk-Solo…..? Satu jam nyampe kan?
Akhirnya kita meninggalkan Galabo pk.19.15 dengan perut kekenyangan, icip sana icip sini. Mana masih membawa bungkusan yang ga habis dimakan. Mampir ke rumah temanku sebentar mengantar mereka + copy foto. Pk. 20.00 WIB kita pulang ke Yk, rada gerimis so lumayan, arus mudik malam itu jadi tidak terlalu padat. PK.23.00 WIB nyampe ke rumah. Akhirnya jadi juga hari ini Wisata Kuliner. Terimakasih Dini n mba Nun dah nganter kita hari ini seharian keliling Solo. Jangan kapok ya……
Rawon Penjara
Sate kere Yu Rebi lebih dekat
KALIURANG……. KALIADEM………. KALI KUNING
Merapi dilihat dari Kaliadem
Thursday, October 16, 2008
Hari ini, hari kedua Lebaran, 2 October 2008. Acara keluarga sudah full seharian kemarin. Halal bihalal ma orang sekampung, ma berkunjung ke bude n nenek family dari Ibu yang katanya dulu aku waktu kecil pernah ketemu. ‘Wah sekarang sudah gedhe ya?’ Capenya hari itu, ga tau dah salaman ma berapa orang, dah berapa ratus kali ngasih senyum mpe bibir pegel saking seringnya senyum. He he…. Rutinitas setahun sekali. Inilah seninya Lebaran.
Hari ini ke mana ya? Rencana mau ke Solo, tapi tyt temanku yg di Solo batal jalan2 hari ini, mereka pada mau wisata ke Pantai Wedi Ombo. Akhirnya terpikir kenapa ga ke Kaliurang saja, sudah lama bgt ga ke sana. Jadilah hari itu kita pergi ke Kaliurang, bertiga ma Nick n Ndra. Yg lain masih pada sibuk dengan acara keluarga jadi pada ga bisa kut.
‘Kita mau ke mana Mbak?’ tanya Ndra sesampainya di X-urang.
‘Ke mana aja lah, terserah kamu,’ jawabku.
Kita menuju ke Telaga Putri, tyt di sana penuh sekali, sama sekali tidak ada tempat parkir. Akhirnya kita beralih ke Gardu Pandang. Sebenarnya aku kurang suka ke Gardu Pandang, sama sekali tidak ada pemandangan bagus kataku, yang dipandang apa sih. Tapi heran, selalu saja ada yg datang ke sana, termasuk kita. He he.
Week telepon, katanya ‘Dawet Nini Thong thong’ enak, coba cari.
Akhirnya tanya ke tukang parkir, mah diketawain.
‘Apa mbak namanya, nini thong thong? Ya deh nanti kita jualan dawet dengan nama itu.’
Ah dasar.
Makan sate kelinci + ayam @Rp.10.000,- Kita juga nemu tempura di sana. Akhirnya beli, yg biasa @Rp.500,- yg pake sosis @ Rp.1.000,-. Ga seenak tempura di UGM, tapi lumayanlah.
Hari itu tiba2 saja gerimis. Heran, katanya biasanya ga pernah hujan, tapi tiap aku pulang pasti deh hujan. Kata temanku, aku tuh pembawa hujan, tiap aku pulang pasti deh hujan. ‘Sudah kamu pergi ke tempat yang kekurangan air sana, biar di sana turun hujan. Kan kasihan.’
Aku sendiri juga heran, tiap aku mau pulang ke Yk, dari Bandung yg biasanya ga hujan, tiap aku mau berangkat ke stasiun pasti deh hujan, mpe Yk, yg biasanya ga hujan, jadi hujan. Ah kebetula aja kali. Pada suka melebih-lebihkan.
Di Gardu Pandang ada yg jualan jadah+bacem+wajik, aku pengin beli, tapi dilarang ma Nick n Ndra. ‘Nti di Mbah Carik aja.’ Memang yang terkenal jadah mbah carik, tapi aku takut nti kehabisan, suka dah kehabisan saking larisnya.
‘Tenang2!, sekarang cabangnya banyak kok.’
Kita lanjut ke Kaliadem. Di perjalanan aku protes ke Week. Di X-urang ga ada yg tau ‘dawet nini thong2’. Week ketawa ngakak. ‘Adanya di Solo oon, bukan di X-urang.’
He he… kita semua ketawa. Pantes ga ada yg tahu. Dan keesokan hari setelah kita mpe Solo, tanya orang Solo juga pada ga tau, ada di mana. ‘Pernah dengar juga kagak.’
Dan belakangan diralat lagi, namanya ‘dawet mini Tong Tong’. Wah dasar telinga. Yah maklum, Papua-Yk kan jauh, wajar klo salah dengar. Tapi tetap saja pada ga tau dawet itu bisa nemunya di mana. Kok orang Papua bisa tau ya? Heran……
Sepanjang perjalanan ke Kaliadem banyak dijumpai jalan bertuliskan Jl. Rosa. Apa maksudnya? Wajar saja, di sana daerah teritorialnya mbah Maridjan, yg terkenal dengan iklan jamunya ‘Rosa….Rosa…..’.
Ndra nunjukin rumah mbah Maridjan. ‘Dekat masjid itu mbak.’ Tapi tetap saja dari jalan ga kelihatan.
Kaliadem, kawasan yang cukup mengalami kerusakan parah saat erupsi Merapi th.2006. Kita pergi ke sana. Menyaksikan sisa2 kedahsyatan alam. ‘Dulu waktu kita ke sini th. 2006, lahar masih belum terlalu kering mbak, diinjak masih lengket di sepatu.’
Untunglah hari itu Kaliadem tidak terlalu ramai dan tidak terlalu panas, banyak angin. Kita bayar Retribusi untuk 3 orang Rp6.000,- sudah termasuk parkir. Murah juga ya! ‘Lebih menarik di sini dp Gardu Pandang’, kataku. Kita beli air sabun untuk membuat gelembung2 sabun, he he mengenang masa kecil. @Rp.3.000,-. Lumayan banyak angin, jadi sukses hari itu membuat banyak gelembung sabun. He he….. jarang2 bisa nyante gini. Stress……… Ilang sudah.
Terlihat deretan warung yang rusak parah, separo tertimbun tanah, atap sudah pada lepas. ‘Itu dulu deretan warung2 makanan mbak, kena lahar dingin,’ kata Ndra. Dan waktu pulang kita melihat foto2 deretan warung di sana sebelum erupsi yang dijual berjejeran di pinggir jalan. ‘Heran, kok ada yang mpe kepikiran moto sebelum erupsi ya!’ kataku.
Deretan warung2 yg rusak oleh erupsi 2006
Ada sungai dalam yang kering, terlihat bekas2 lahar dingin yang sudah mongering. Sungai ini salah satu tempat mengalirnya lahar dingin waktu erupsi. Ada juga terlihat beberapa batu besar hasil erupsi bertahun-tahun yang lalu, yg tak bisa dipindahkan coz saking besarnya, atau memang dikeramatkan, aku juga tidak tahu, coz dipagar.
Sungai tempat aliran lahar dingin
Lelehan lahar dingin erupsi 2006 yg sudah mengeras
Salah satu batu yg terlempar waktu erupsi bertahun-tahun yg lalu
Hari itu Merapi terlihat jelas dari Kaliadem. Masih terlihat kepulan asap di puncak Merapi. Ya, mbah Merapi masih terus bekerja, siang dan malam. Salah satu gunung api yang paling aktif di dunia.
Setelah puas di Kali Adem, kita turun mampir ke Kali Kuning. Pada nurutin aku yang penasaran coz terakhir ke sana th. 2003 ga nemu sungai penuh air, tapi sungai penuh pasir. Kita dulu salah arah turun, mau putar arah sudah kecapean dan kesorean, jalan turunnya lumayan. Serasa mencari jejak.
‘Aku dengar gemercik air!’ kataku.
‘Bukan! Itu suara angin!’ kata Ndra.
‘Itu air Ndra, bener!’ kataku keukeuh. Coba lihat, itu di bawah kan sungai. Turun yuk!’
Nick ga mau turun, dia kecapean. Ya sudah kuminta Ndra nemeni Nick, aku penasaran pengin lihat Kali Kuning lagi, akhirnya nekad turun sendiri. Menuruni bukit yang terjal, dengan jalan setapak yg cuma cukup untuk lewat satu orang. Harus extra hati2, terpeleset bisa masuk jurang. Jadi ingat jaman masih kut Pramuka dulu. Tyt lumayan juga jalannya, kok ga mpe2 ya. Bentar lagi sudah gelap, palagi di hutan pinus gini. Beberapa kali berpapasan dengan pasangan muda-mudi. He he … pada pacaran di tempat sepi gini.
‘Kok sendirian mbak!’
‘Iya, pada kecapean, ga mau ikut turun. Sungainya masih jauh ga?’
‘Ga jauh lagi kok mbak. Lumayan cape, tapi mpe bawah, ga akan nyesel. Seger banget. Hati2 ya mbak!’
Hutan pinus di Kali Kuning
Dulu ke Kali Kuning pertama kali waktu pelantikan anggota Miskam, th 1999. Sudah lama bgt. Kita dibagi kelompok lima2, menyusuri Kali Kuning, bergandengan tangan saling membantu, untuk membentuk kebersamaan. Airnya jernih, segala kehidupan di bawahnya terlihat jelas. Dingin tapi segar. Saat pelantikan kita semua diguyur air sungai mpe basah kuyup. Pengalaman yg tak kan pernah kulupakan. Apakah Kali Kuning sekarang masih seperti yg kulihat dulu?
Kali Kuning dilihat dari atas
Kali Kuning daro dekat. Di musim kemarau, airnya banyak surut.
Akhirnya nyampe juga aku ke bawah. Sepi sekali. Sungai sudah terlihat. Sebelah atas sungai kering, tapi di bagian bawah mulai muncul mata air mengalir ke bawah. Sepertinya mata air dari bawah tanah. Mata air pegunungan. Masih jernih, sama sekali belum tercemar. Aliran sungai kecil, tidak seperti yg kulihat dulu, mungkin coz sekarang masih musim kemarau. Aku tdak berani berlama-lama di sana. Serem. Sendirian, ada beberapa cowok lagi mancing di bawah.
‘He…. Itu ada cewek, sendirian lho.’
Akhirnya aku naik lagi, ga berani lanjut turun. Ga berani ambil resiko. Ada apa2 teriak2 pasti ga ada yg dengar. Naik tyt lebih melelahkan dp waktu turun. Bener2 deh, mpe ngos2an, baju basah kuyup oleh keringat, semoga habis ini nimbang turun 3 kilo. He he….
Kita turun pulang ke Yk pk.17.00.
‘Jadi mo beli Jadah mbah Carik?’ tanya Ndra.
‘Jadi donk!’ jawabku.
Di jadah mbah Carik Jl. Kaliurang sebelah atas lumayan antre. Kata Ndra, ‘Di bawah masih ada satu lagi, kita coba yg sana aja!’
Kita melewati Mirota Batik, tyt buka cabang di Jl. Kaliurang. Katanya harganya lebih murah dp yg di Jl. Malioboro, coz di Malioboro banyak turis asing ke sana jd harga dipatok lebih mahal. Tapi lumayan jauh jg klo mesti ke sini.
Mpe mbah Carik di bawah, tyt ga antre. Dan malangnya aku, ga antre coz dah pada habis. Tinggal jadah doank. Jadah dimakan ga pake tempe or tahu kan rasanya kurang enak. Gembus habis, tempe koro habis, wajik juga habis. Ya sut…. Akhirnya harus rela cuma beli 4 bungkus jadah tanpa pelengkapnya, @Rp.5.000 isi 10 potong jadah kecil + pia isi coklat 1 bungkus buat cemilan di jalan.
Karena keburu lapar, tadinya pengin makan di angkringan, penasaran pengin nyobain angkringan baru di Selokan Mataram. Ga mau ambil resiko masih di hari kedua Lebaran, angkringan belum buka, akhirnya kita makan di Mie goreng Cak Edi di Jl. Gejayan. Salah satu mie favoritku. Ita selalu setia mengantarkan mie goreng Cak Edi ke Stasiun, untuk bekalku di perjalanan pulang ke Bandung. Yah, dia memang perhatian bgt. ‘Thanks Ta!’
Lumayan cape hari ini, tapi lumayan terhibur juga. Tapi hik hik….. jadah mbah cariknya kehabisan……
Thursday, October 16, 2008
PANTAI SIUNG………………… AKHIRNYA NYAMPAI JUGA KE SANA!!!!!!!
Pantai Siung
Pantai Sundak di senja hari
Saturday, October 11, 2008
October 4, 2008 on my 4th vacation day, akhirnya kesampaian kita jalan2 ke Pantai Siung, pantai pasir putih di Wonosari. Salah satu Pantai baru dibuka di kawasan Wonosari yang belum pernah kukunjungi.
Berangkat dari Yogya rencana pukul 08.00 pagi, biasa….. namanya juga kita, kalau ga molo2r dikit ya namanya bukan kita. Akhirnya dari rumah baru berangkat pk. 08.45 WIB, pergi berempat. Mampir ke kost Nick dulu ambil barangnya yg ketinggalan.
Jalan Wonosari tidak macet. Untunglah!
Di sepanjang perjalanan, tidak ada pemandangan menarik yang bisa dilihat.
Lihatlah betapa gersangnya, banyak pohon meranggas demi tetap survive
Kanan-kiri begitu gersang. Yah, Wonosari memang daerah yang susah air. Di sana air bersih begitu berharga, mahal, harus beli.
‘Nanti mbak, sebentar lagi, di Bukit Bintang, baru bisa lihat pemandangan yg bagus,’ kata Ndra.
Ya, dan benar saja. Pemandangan memang tampak teramat bagus dari Bukit Bintang. Sudah lama aku tidak ke sini, jadi sudah rada lupa dengan yg namanya Bukit Bintang. Melihat ke bawah, melihat Yogya dari atas, pemandangan yang amat bagus. Hamparan menghijau dengan banyak rumah yang tertata cantik di sela-selanya. Sungguh kontras dengan pemandangan2 sebelumnya.
Kenapa diberi nama Bukit Bintang. Apa kalau malam dari sana bintang2 terlihat jelas?
Ya…… kalau malam, kita bisa menikmati pemandangan yang amat menawan. Beribu-ribu bintang berkerlap-kerlip. Bukan nun di atas sana, bukan di langit, tapi nun di bawah sana. Lampu2 dari rumah2 penduduk nun di bawah sana, laksana beribu-ribu bintang di kegelapan malam. Sungguh pemandangan yang menakjubkan. Makanya tempat itu dinamai Bukit Bintang, karena pemandangan yg amat bagus itu cuma bisa dilihat dari situ.
Keluar dari kota Wonosari, sepanjang jalan Wonosari begitu sepi, dengan hutan2 di kanan-kirinya, salah satunya Wanagama, tempat observasi mahasiswa UGM. Kalau malam lewat tempat ini sendiri ngeri juga, belum ada lampu penerangan, tidak ada sinyal HP, sama sekali tidak ada rumah penduduk.
Di sana-sini terlihat banyak rontokan daun, ranting2 mengering. Yah, demi tetap survive, pohon2 meranggas. Di daerah yang keras, pasokan air sedikit, mana hujan sama sekali belum turun. Pemandangan yang amat biasa dijumpai di sana di musim kemarau.
Semakin mendekati kawasan pantai, bisa dilihat pemandangan yang menarik di kanan-kiri jalan. Banyak bukit2 karang kehitam-hitaman. Gersang, dengan sedikit pepohonan. Tapi hebat juga, ada beberapa pohon yang bisa bertahan hidup di sana. Sepertinya zaman dulu kala, tempat ini di bawah laut. Seperti pemandangan di bawah laut.
Jangan heran kalau melewati tempat ini, melihat kambing bisa mendaki bukit. Yah, demi tetap survive, akhirnya mau tidak mau harus beradaptasi dengan lingkungan setempat.
‘Bentar lagi kita sampai di Green Canyon-nya Wonosari,’ kata Ndra.
Yah benar…… pemandangan yang begitu mempesona. Kumpulan bukit karang menghitam, membentuk lembah melingkar. Amat sangat menakjubkan. Dan sudah terlambat bagiku untuk mengabadikan pesona alam itu.
‘Yah Ndra, kenapa ga bilang dari tadi. Telat deh mw moto. Nti ada lagi ga?’ protesku ke Ndra.
‘Ga ada lagi.’
‘Yah, klo gitu nti pulangnya lewat lagi kan?’
‘Lewat, tapi nti pasti dah ga kelihatan, kita pulang pasti sudah malam.’
‘Yah………………’
Lumayan jauh juga masuk ke lokasi Pantai Siung. Akhirnya kesampaian juga ke Pantai Siung. Retribusi per orang masih murah, sekitar 1.500-2.000 rupiah, aku lupa angka persisnya. Mpe lokasi pk.11.30. Belum terlalu ramai karena memang belum terlalu dikenal orang. Dan untunglah di masa Libur Lebaran ini kita memilih pantai ini. Jika terlalu crowded, jadi merasa tidak nyaman, tidak bisa sepenuhnya menikmati keindahan pantai. Di mana-mana yang terlihat melulu orang berlalu lalang.
Pantai Siung……
Sebelumnya pantai favoritku adalah Pantai Sundak, salah satu Pantai pasir putih di Wonosari juga. Sekarang pantai favoritku tambah satu…… Pantai Siung.
Rasanya betah berlama-lama di sana. Begitu banyak pemandangan menarik yang bisa dilihat di sana. Viewnya memang tidak seluas pantai2 yang lain di kawasan Wonosari, tapi tidak mengurangi keindahannya.
Pantai Wediombo, sedikit lebih ke Timur dari Pantai Siung, di perbatasan dengan Jawa Tengah, di sana kita bisa melihat view yang maha luas dibanding pantai2 yang lain. Namanya juga ‘ombo’ (bhs. Jawa) yang artinya luas. Hamparan pantai pasir putih yang amat luas.
Pantai Sundak. Pantai berpasir putih. Aku suka sekali ke sana. Ada banyak ganggang laut di sepanjang pantai. Air di pinggir pantainya begitu jernih hingga kehidupan di bawahnya terlihat jelas di sana. Yang paling kusuka, di Sundak ada teluk kecil, tempat kita bisa mandi2 di sana dengan aman karena terlindung oleh batuan karang. Air di teluk itu begitu jernih, segar. Air payau, sedikit air laut bercampur dengan mata air yang keluar dari bawah bukit karang. Tadinya kukira di sana airnya air tawar, saat ga sengaja tercicip, ternyata sedikit asin, tapi tidak terasa lengket di kulit.
Pantai Krakal, aku kurang begitu suka. Paling kotor dibandingkan pantai2 yang lain di Wonosari. Banyak tumbuh terumbu2 karang dan pandan berduri di pinggir2 pantai. Bagus sih, untuk mengurangi abrasi. Tapi aku kurang suka di sana. Banyak sampah2 yang nyangkut di antara terumbu karang. Pasir pantainya juga rada kotor oleh sampah.
Pantai Kukup. Pantai berpasir putih juga. Dulu aku suka sekali ke sana. Aku masih mengalami masa di mana Pantai Kukup masih banyak ikan2 kecil warna-warni di perairan sepanjang pantai. Sungguh indah dilihat. Ikan kecil berwarna-warni, ada yang putih, biru, kuning, hitam, belang2, merah, orange, bercak2. Kita bebas menangkap ikan untuk dibawa pulang, pake jaring kecil. Tapi itu semua bisa dinikmati waktu aku masih SMA dulu. Saking banyaknya yang pada nangkap ikan, di perairan itu sekarang sudah tidak ada ikan2 kecilnya lagi, sudah habis. Kalaupun ada cuma satu dua. Tapi di sana banyak pedagang2 yang menjajakan ikan2 hias kecil. Aku pernah beli pengin dipiara di aquarium rumah, tapi sayang dalam perjalanan ikannya pada mati. Pengap kekurangan oksigen mungkin.
Pantai Baron. Satu2nya pantai di Wonosari yang berpasir hitam. Di sinilah gudangnya ikan. Biasanya menjadi tujuan terakhir wisata pantai di Wonosari, untuk belanja ikan, oleh2 buat yang di rumah. Banyak perahu2 nelayan di sana. Benar2 sudah merupakan obyek wisata murni. Selalu ramai dikunjungi orang.
Kita Berempat di Pt. Siung
Back to Siung Beach. Pantai ini sudah diakui dunia internasional sebagai pantai tempat panjat tebing terbaik di dunia no. 2 setelah Thailand. Dunia internasional saja sudah mengenalnya, tapi orang Indonesia sendiri banyak yg belum mengenal pantai ini.
Di ujung Timur, menghampar batuan karang menghitam. Hati2 saja di sini, lumayan licin oleh lumut, banyak genangan air, air yang terjebak di antara batuan karang waktu ombak mencapai tempat itu. Sedikit ke arah barat, bisa kita jumpai hamparan ganggang laut menghijau di sepanjang pantai. Kalau diperhatikan benar, banyak biota laut hidup di situ. Ada bintang laut, siput laut, cacing laut, landak laut. So hati2 klo melangkah, lumayan sakit klo ga sengaja menginjak duri landak laut.
Ganggang laut dari dekat dan Pantai Sundak yg airnya surut bnyk
Berjalan ke barat lagi, ada belahan pantai. Belahan ini buatan manusia, sepertinya menggunakan bahan peledak untuk memecahkan karang yang ada di sana. Belahan ini untuk tempat lalu lintas perahu baik yang akan melaut atau yang kembali merapat ke darat. Belahan ini tergenang air yang jernih. Terasa dingin dan tidak lengket di kulit. Air sudah bercampur dengan air tawar dari mata air di situ.
Belahan di Pt. Siung dan perahu yg kembali merapat.
Memanjang sampai ke ujung barat, hamparan perairan bening dengan air jernih, segala kehidupan di situ terlihat jelas. Sungguh pemandangan yang apik. Di ujung paling barat pantai ada tebing2. Tebing2 inilah yang sudah memenuhi standar panjat tebing internasional. Kita sebagai orang Indonesia patut berbangga ada satu lagi pantai di Indonesia yang diakui dunia internasional.
Pantai ini memang masih benar2 alami. Berbeda dengan pantai2 yang lain, tidak kujumpai satu pun pedagang souvenir di sana. Ada beberapa warung makan sederhana yang menjajakan mie ayam, bakso, es dawet, ikan goreng, ikan bakar, dengan harga yang relatif murah. Mie ayam 4.000, bakso pangsit 4.000, dawet 2.500. Kok tau ya….. Habis laper, diiming2in si Nick katanya makan di situ murah n rasanya lumayan. Saat aku ma Dhex nyoba…..’Ga salah ni si Nick, kok bilang enak. Kelaperan kali tu anak.’
Parkir dipatok Rp.2.000,- Kamar mandi yg di belakang Rp.1.000,- kamar mandi di depan bangunannya lebih bagus tarif Rp.2.000,-. Tapi maaf saja airnya keruh, yah maklum di sana susah air. Ya, rata2 para pedagang belum berani mematok harga tinggi, coz masih sepi pengunjung.
Ga terasa kita sudah seharian di Pantai Siung. Sepertinya sampai malam di Pantai ini kita masih betah. Coz aku pengin ke Pantai Sundak juga, akhirnya pk.16.15 kita meninggalkan Siung menuju Sundak. Menunggu sunset di Siung juga percuma, coz langit mendung. Sama sekali tidak akan terlihat.
Ternyata jarak Siung ke Sundak lumayan juga. Kita sampai Sundak pk.17.00. Masih Sundak yang kukenal. Air laut surut lumayan banyak. Menciptakan perairan yang dipenuhi ganggang hijau di sepanjang pantai yang lumayan luas.
‘Mbak, mau ada tsunami!’ kata Ndra.
He he…. salah satu indikasi adanya tsunami, jika air laut surut banyak dengan tiba2.
Pantai begitu sepi. Kita tidak terlalu bisa menikmati, coz senja cepat sekali turun. Rada takut juga berada di dekat teluk yang biasanya begitu menyenangkan, takut tiba2 air laut pasang. Nick n Ndra sama sekali ga mau turun ke laut, mereka cuma duduk2 di hamparan pasir, kecapekan mungkin.
Pk. 18.00 benar2 sudah gelap gulita. Sama sekali tidak ada penerangan di sana coz listrik belum masuk ke daerah itu. Akhirnya waktu sewa kamar mandi buat ganti baju yang basah kuyup, harus rela memakai penerangan seadanya, lampu senthir yang asapnya mengepul hitam. Duh…. Mg2 asapnya ga nempel ke muka. Bisa coreng-moreng mukaku nti.
Pk.18.15 WIB kita meninggalkan Sundak. Benar2 sudah gelap, seperti pk.19.00. Benar kata Ndra…. Waktu kita lewat Green Canyon-nya Wonosari lagi, sama sekali tidak terlihat apa2. ‘Yah…… laen kali kita ke sini lagi!’
Perjalanan pulang terasa begitu lama. Harus ekstra hati2. Sama sekali tidak ada penerangan di jalan, banyak tikungan tajam. ‘Kok ga mpe2 ya.’
Tadinya kita rencana mo makan malam di angkringan. Tapi sepertinya laper keburu datang, kasihan cacing2 di perut dah protes minta diisi.
‘Dah pada laper ya? Ya sudah, kita makan di jalan saja. Anything, yg terlihat enak aja.’
Pk.19.30 WIB. Wowwwwwwwwww!!!!!!!!!!!!! Pemandangan paling menakjubkan yang kami lihat sepanjang sore itu. Bukit Bintang. Bagus sekali………………………..
‘Jalan pelan2 ya Ndra!’
Si Nick coba mengabadikan via kamera. Tidak berhasil, yang terlihat cuma hitam gelap. Benar kata Nick, keindahan ini cuma lensa mata kita yang bisa menangkap pesonanya. Lensa kamera semahal apapun tidak akan bisa mengabadikannya dengan sempurna. So bersyukurlah kita dikaruniai sepasang mata yang bisa mengabadikan keindahan ciptaaan-Nya dengan sempurna.
Baru kali itu, kulihat di sepanjang jalan, banyak mobil dan motor yang berhenti, sampai radius beberapa meter. Semuanya menatap ke bawah, focus ke titik yang sama, ribuan taburan bintang di bawah sana. Alangkah indahnya………..
Rasanya pengin berhenti saja, berlama-lama di sana, he he….. tapi hari kian malam, HP-ku dah bunyi terus dari tadi. My mum khawatir. ‘Mpe mana? Pulang jangan malam2?’
Tiap HP bunyi pasti deh ….
‘Dari siapa?’
‘Siapa lagi? Ibu…….!’
Pk.20.00 kita makan malam. ‘Mie Jawa Pak Noto’ di Jl. Wonosari. Katanya lumayan enak. Dan benar saja, enak. ‘Bisa nih, direkomendasiin!’
Mie-nya dari baunya aja dah yummy bgt……
Dimasak pake anglo. Dan untunglah kita mpe sana tidak pake nunggu lama. Coz habis kita, ada beberapa mobil rombongan yang berhenti makan di situ.
‘Untung kita dah nyampe duluan.’
Tapi jangan pesan nasi goreng di sana, aku tadinya pesan nasi goreng, pas tau yg masak beda orang, jd pengin cancel. Nasi goreng dimasak oleh ibu2 pake kompor gas biasa. Akhirnya saat nasgorku datang, aku lebih memilih pesan lagi mie goreng. Minumnya teh poci dengan gula batu. Hmmmmmmmmmmm
Harganya juga standar. Kita pesan 2 nasgor, 3 mie goreng, 2 teh poci, 1 jeruk anget n 2 keripik, cuma bayar 48 ribu.
Akhirnya….. kesampaian deh ke pantai. Saking senengnya mpe ga kerasa kulit jadi gosong kebakar sinar matahari. Sukses deh kita berjemur hari ini.
‘Habis ini, kita lomba item2an ya. Yang kalah nraktir di angkringan.’
‘Waduh lama nih mulihin lagi,’ kata Dhex.
‘Aku mah mpe kapan pun juga ga akan pulih2. Aslinya seperti ini,’ kata Ndra.
‘Si Nick kok ga gosong ya?’
‘Aku kan pakai lengan panjang!’
Yah gapapa…… belum tentu kan setahun sekali kita ke Pantai. Dinikmati saja.
Pantai Sundak di senja hari
Saturday, October 11, 2008
October 4, 2008 on my 4th vacation day, akhirnya kesampaian kita jalan2 ke Pantai Siung, pantai pasir putih di Wonosari. Salah satu Pantai baru dibuka di kawasan Wonosari yang belum pernah kukunjungi.
Berangkat dari Yogya rencana pukul 08.00 pagi, biasa….. namanya juga kita, kalau ga molo2r dikit ya namanya bukan kita. Akhirnya dari rumah baru berangkat pk. 08.45 WIB, pergi berempat. Mampir ke kost Nick dulu ambil barangnya yg ketinggalan.
Jalan Wonosari tidak macet. Untunglah!
Di sepanjang perjalanan, tidak ada pemandangan menarik yang bisa dilihat.
Lihatlah betapa gersangnya, banyak pohon meranggas demi tetap survive
Kanan-kiri begitu gersang. Yah, Wonosari memang daerah yang susah air. Di sana air bersih begitu berharga, mahal, harus beli.
‘Nanti mbak, sebentar lagi, di Bukit Bintang, baru bisa lihat pemandangan yg bagus,’ kata Ndra.
Ya, dan benar saja. Pemandangan memang tampak teramat bagus dari Bukit Bintang. Sudah lama aku tidak ke sini, jadi sudah rada lupa dengan yg namanya Bukit Bintang. Melihat ke bawah, melihat Yogya dari atas, pemandangan yang amat bagus. Hamparan menghijau dengan banyak rumah yang tertata cantik di sela-selanya. Sungguh kontras dengan pemandangan2 sebelumnya.
Kenapa diberi nama Bukit Bintang. Apa kalau malam dari sana bintang2 terlihat jelas?
Ya…… kalau malam, kita bisa menikmati pemandangan yang amat menawan. Beribu-ribu bintang berkerlap-kerlip. Bukan nun di atas sana, bukan di langit, tapi nun di bawah sana. Lampu2 dari rumah2 penduduk nun di bawah sana, laksana beribu-ribu bintang di kegelapan malam. Sungguh pemandangan yang menakjubkan. Makanya tempat itu dinamai Bukit Bintang, karena pemandangan yg amat bagus itu cuma bisa dilihat dari situ.
Keluar dari kota Wonosari, sepanjang jalan Wonosari begitu sepi, dengan hutan2 di kanan-kirinya, salah satunya Wanagama, tempat observasi mahasiswa UGM. Kalau malam lewat tempat ini sendiri ngeri juga, belum ada lampu penerangan, tidak ada sinyal HP, sama sekali tidak ada rumah penduduk.
Di sana-sini terlihat banyak rontokan daun, ranting2 mengering. Yah, demi tetap survive, pohon2 meranggas. Di daerah yang keras, pasokan air sedikit, mana hujan sama sekali belum turun. Pemandangan yang amat biasa dijumpai di sana di musim kemarau.
Semakin mendekati kawasan pantai, bisa dilihat pemandangan yang menarik di kanan-kiri jalan. Banyak bukit2 karang kehitam-hitaman. Gersang, dengan sedikit pepohonan. Tapi hebat juga, ada beberapa pohon yang bisa bertahan hidup di sana. Sepertinya zaman dulu kala, tempat ini di bawah laut. Seperti pemandangan di bawah laut.
Jangan heran kalau melewati tempat ini, melihat kambing bisa mendaki bukit. Yah, demi tetap survive, akhirnya mau tidak mau harus beradaptasi dengan lingkungan setempat.
‘Bentar lagi kita sampai di Green Canyon-nya Wonosari,’ kata Ndra.
Yah benar…… pemandangan yang begitu mempesona. Kumpulan bukit karang menghitam, membentuk lembah melingkar. Amat sangat menakjubkan. Dan sudah terlambat bagiku untuk mengabadikan pesona alam itu.
‘Yah Ndra, kenapa ga bilang dari tadi. Telat deh mw moto. Nti ada lagi ga?’ protesku ke Ndra.
‘Ga ada lagi.’
‘Yah, klo gitu nti pulangnya lewat lagi kan?’
‘Lewat, tapi nti pasti dah ga kelihatan, kita pulang pasti sudah malam.’
‘Yah………………’
Lumayan jauh juga masuk ke lokasi Pantai Siung. Akhirnya kesampaian juga ke Pantai Siung. Retribusi per orang masih murah, sekitar 1.500-2.000 rupiah, aku lupa angka persisnya. Mpe lokasi pk.11.30. Belum terlalu ramai karena memang belum terlalu dikenal orang. Dan untunglah di masa Libur Lebaran ini kita memilih pantai ini. Jika terlalu crowded, jadi merasa tidak nyaman, tidak bisa sepenuhnya menikmati keindahan pantai. Di mana-mana yang terlihat melulu orang berlalu lalang.
Pantai Siung……
Sebelumnya pantai favoritku adalah Pantai Sundak, salah satu Pantai pasir putih di Wonosari juga. Sekarang pantai favoritku tambah satu…… Pantai Siung.
Rasanya betah berlama-lama di sana. Begitu banyak pemandangan menarik yang bisa dilihat di sana. Viewnya memang tidak seluas pantai2 yang lain di kawasan Wonosari, tapi tidak mengurangi keindahannya.
Pantai Wediombo, sedikit lebih ke Timur dari Pantai Siung, di perbatasan dengan Jawa Tengah, di sana kita bisa melihat view yang maha luas dibanding pantai2 yang lain. Namanya juga ‘ombo’ (bhs. Jawa) yang artinya luas. Hamparan pantai pasir putih yang amat luas.
Pantai Sundak. Pantai berpasir putih. Aku suka sekali ke sana. Ada banyak ganggang laut di sepanjang pantai. Air di pinggir pantainya begitu jernih hingga kehidupan di bawahnya terlihat jelas di sana. Yang paling kusuka, di Sundak ada teluk kecil, tempat kita bisa mandi2 di sana dengan aman karena terlindung oleh batuan karang. Air di teluk itu begitu jernih, segar. Air payau, sedikit air laut bercampur dengan mata air yang keluar dari bawah bukit karang. Tadinya kukira di sana airnya air tawar, saat ga sengaja tercicip, ternyata sedikit asin, tapi tidak terasa lengket di kulit.
Pantai Krakal, aku kurang begitu suka. Paling kotor dibandingkan pantai2 yang lain di Wonosari. Banyak tumbuh terumbu2 karang dan pandan berduri di pinggir2 pantai. Bagus sih, untuk mengurangi abrasi. Tapi aku kurang suka di sana. Banyak sampah2 yang nyangkut di antara terumbu karang. Pasir pantainya juga rada kotor oleh sampah.
Pantai Kukup. Pantai berpasir putih juga. Dulu aku suka sekali ke sana. Aku masih mengalami masa di mana Pantai Kukup masih banyak ikan2 kecil warna-warni di perairan sepanjang pantai. Sungguh indah dilihat. Ikan kecil berwarna-warni, ada yang putih, biru, kuning, hitam, belang2, merah, orange, bercak2. Kita bebas menangkap ikan untuk dibawa pulang, pake jaring kecil. Tapi itu semua bisa dinikmati waktu aku masih SMA dulu. Saking banyaknya yang pada nangkap ikan, di perairan itu sekarang sudah tidak ada ikan2 kecilnya lagi, sudah habis. Kalaupun ada cuma satu dua. Tapi di sana banyak pedagang2 yang menjajakan ikan2 hias kecil. Aku pernah beli pengin dipiara di aquarium rumah, tapi sayang dalam perjalanan ikannya pada mati. Pengap kekurangan oksigen mungkin.
Pantai Baron. Satu2nya pantai di Wonosari yang berpasir hitam. Di sinilah gudangnya ikan. Biasanya menjadi tujuan terakhir wisata pantai di Wonosari, untuk belanja ikan, oleh2 buat yang di rumah. Banyak perahu2 nelayan di sana. Benar2 sudah merupakan obyek wisata murni. Selalu ramai dikunjungi orang.
Kita Berempat di Pt. Siung
Back to Siung Beach. Pantai ini sudah diakui dunia internasional sebagai pantai tempat panjat tebing terbaik di dunia no. 2 setelah Thailand. Dunia internasional saja sudah mengenalnya, tapi orang Indonesia sendiri banyak yg belum mengenal pantai ini.
Di ujung Timur, menghampar batuan karang menghitam. Hati2 saja di sini, lumayan licin oleh lumut, banyak genangan air, air yang terjebak di antara batuan karang waktu ombak mencapai tempat itu. Sedikit ke arah barat, bisa kita jumpai hamparan ganggang laut menghijau di sepanjang pantai. Kalau diperhatikan benar, banyak biota laut hidup di situ. Ada bintang laut, siput laut, cacing laut, landak laut. So hati2 klo melangkah, lumayan sakit klo ga sengaja menginjak duri landak laut.
Ganggang laut dari dekat dan Pantai Sundak yg airnya surut bnyk
Berjalan ke barat lagi, ada belahan pantai. Belahan ini buatan manusia, sepertinya menggunakan bahan peledak untuk memecahkan karang yang ada di sana. Belahan ini untuk tempat lalu lintas perahu baik yang akan melaut atau yang kembali merapat ke darat. Belahan ini tergenang air yang jernih. Terasa dingin dan tidak lengket di kulit. Air sudah bercampur dengan air tawar dari mata air di situ.
Belahan di Pt. Siung dan perahu yg kembali merapat.
Memanjang sampai ke ujung barat, hamparan perairan bening dengan air jernih, segala kehidupan di situ terlihat jelas. Sungguh pemandangan yang apik. Di ujung paling barat pantai ada tebing2. Tebing2 inilah yang sudah memenuhi standar panjat tebing internasional. Kita sebagai orang Indonesia patut berbangga ada satu lagi pantai di Indonesia yang diakui dunia internasional.
Pantai ini memang masih benar2 alami. Berbeda dengan pantai2 yang lain, tidak kujumpai satu pun pedagang souvenir di sana. Ada beberapa warung makan sederhana yang menjajakan mie ayam, bakso, es dawet, ikan goreng, ikan bakar, dengan harga yang relatif murah. Mie ayam 4.000, bakso pangsit 4.000, dawet 2.500. Kok tau ya….. Habis laper, diiming2in si Nick katanya makan di situ murah n rasanya lumayan. Saat aku ma Dhex nyoba…..’Ga salah ni si Nick, kok bilang enak. Kelaperan kali tu anak.’
Parkir dipatok Rp.2.000,- Kamar mandi yg di belakang Rp.1.000,- kamar mandi di depan bangunannya lebih bagus tarif Rp.2.000,-. Tapi maaf saja airnya keruh, yah maklum di sana susah air. Ya, rata2 para pedagang belum berani mematok harga tinggi, coz masih sepi pengunjung.
Ga terasa kita sudah seharian di Pantai Siung. Sepertinya sampai malam di Pantai ini kita masih betah. Coz aku pengin ke Pantai Sundak juga, akhirnya pk.16.15 kita meninggalkan Siung menuju Sundak. Menunggu sunset di Siung juga percuma, coz langit mendung. Sama sekali tidak akan terlihat.
Ternyata jarak Siung ke Sundak lumayan juga. Kita sampai Sundak pk.17.00. Masih Sundak yang kukenal. Air laut surut lumayan banyak. Menciptakan perairan yang dipenuhi ganggang hijau di sepanjang pantai yang lumayan luas.
‘Mbak, mau ada tsunami!’ kata Ndra.
He he…. salah satu indikasi adanya tsunami, jika air laut surut banyak dengan tiba2.
Pantai begitu sepi. Kita tidak terlalu bisa menikmati, coz senja cepat sekali turun. Rada takut juga berada di dekat teluk yang biasanya begitu menyenangkan, takut tiba2 air laut pasang. Nick n Ndra sama sekali ga mau turun ke laut, mereka cuma duduk2 di hamparan pasir, kecapekan mungkin.
Pk. 18.00 benar2 sudah gelap gulita. Sama sekali tidak ada penerangan di sana coz listrik belum masuk ke daerah itu. Akhirnya waktu sewa kamar mandi buat ganti baju yang basah kuyup, harus rela memakai penerangan seadanya, lampu senthir yang asapnya mengepul hitam. Duh…. Mg2 asapnya ga nempel ke muka. Bisa coreng-moreng mukaku nti.
Pk.18.15 WIB kita meninggalkan Sundak. Benar2 sudah gelap, seperti pk.19.00. Benar kata Ndra…. Waktu kita lewat Green Canyon-nya Wonosari lagi, sama sekali tidak terlihat apa2. ‘Yah…… laen kali kita ke sini lagi!’
Perjalanan pulang terasa begitu lama. Harus ekstra hati2. Sama sekali tidak ada penerangan di jalan, banyak tikungan tajam. ‘Kok ga mpe2 ya.’
Tadinya kita rencana mo makan malam di angkringan. Tapi sepertinya laper keburu datang, kasihan cacing2 di perut dah protes minta diisi.
‘Dah pada laper ya? Ya sudah, kita makan di jalan saja. Anything, yg terlihat enak aja.’
Pk.19.30 WIB. Wowwwwwwwwww!!!!!!!!!!!!! Pemandangan paling menakjubkan yang kami lihat sepanjang sore itu. Bukit Bintang. Bagus sekali………………………..
‘Jalan pelan2 ya Ndra!’
Si Nick coba mengabadikan via kamera. Tidak berhasil, yang terlihat cuma hitam gelap. Benar kata Nick, keindahan ini cuma lensa mata kita yang bisa menangkap pesonanya. Lensa kamera semahal apapun tidak akan bisa mengabadikannya dengan sempurna. So bersyukurlah kita dikaruniai sepasang mata yang bisa mengabadikan keindahan ciptaaan-Nya dengan sempurna.
Baru kali itu, kulihat di sepanjang jalan, banyak mobil dan motor yang berhenti, sampai radius beberapa meter. Semuanya menatap ke bawah, focus ke titik yang sama, ribuan taburan bintang di bawah sana. Alangkah indahnya………..
Rasanya pengin berhenti saja, berlama-lama di sana, he he….. tapi hari kian malam, HP-ku dah bunyi terus dari tadi. My mum khawatir. ‘Mpe mana? Pulang jangan malam2?’
Tiap HP bunyi pasti deh ….
‘Dari siapa?’
‘Siapa lagi? Ibu…….!’
Pk.20.00 kita makan malam. ‘Mie Jawa Pak Noto’ di Jl. Wonosari. Katanya lumayan enak. Dan benar saja, enak. ‘Bisa nih, direkomendasiin!’
Mie-nya dari baunya aja dah yummy bgt……
Dimasak pake anglo. Dan untunglah kita mpe sana tidak pake nunggu lama. Coz habis kita, ada beberapa mobil rombongan yang berhenti makan di situ.
‘Untung kita dah nyampe duluan.’
Tapi jangan pesan nasi goreng di sana, aku tadinya pesan nasi goreng, pas tau yg masak beda orang, jd pengin cancel. Nasi goreng dimasak oleh ibu2 pake kompor gas biasa. Akhirnya saat nasgorku datang, aku lebih memilih pesan lagi mie goreng. Minumnya teh poci dengan gula batu. Hmmmmmmmmmmm
Harganya juga standar. Kita pesan 2 nasgor, 3 mie goreng, 2 teh poci, 1 jeruk anget n 2 keripik, cuma bayar 48 ribu.
Akhirnya….. kesampaian deh ke pantai. Saking senengnya mpe ga kerasa kulit jadi gosong kebakar sinar matahari. Sukses deh kita berjemur hari ini.
‘Habis ini, kita lomba item2an ya. Yang kalah nraktir di angkringan.’
‘Waduh lama nih mulihin lagi,’ kata Dhex.
‘Aku mah mpe kapan pun juga ga akan pulih2. Aslinya seperti ini,’ kata Ndra.
‘Si Nick kok ga gosong ya?’
‘Aku kan pakai lengan panjang!’
Yah gapapa…… belum tentu kan setahun sekali kita ke Pantai. Dinikmati saja.
Subscribe to:
Posts (Atom)